Jumat, 11 September 2015

PRAHARA LISTRIK PRA BAYAR (VOUCHER)

Desas-desus adanya mafia voucher listrik pertama kali diungkap oleh Rizal Ramli. Katanya pelanggan beli voucher 100.000 tetapi di meteran gak ada segitu. Biar gak berprasangka buruk kepada penyedia voucher dan agen penjualnya, yuk kita hitung bersama:

Nilai Voucher Rp 100.000
Potongan Admin Bank Rp 3.000
Nilai setelah potongan Admin Bank, Rp 97.000
Potongan PPJ adalah Rp 97.000 / 11 = Rp  8.818
Nilai setelah potongan PPJ, Rp 88.182
Rp 88.182 ini lah yang dijadikan dasar perhitungan konversi ke KwH. Besar KwH diterima tergantung daya listrik terpasang, sesuai harga tarif dasar listrik terupdate. Silahkan dibagi nilai Rp 88.182 tadi dengan harga tarif daya listrik yang terpasang di rumah Anda. Itulah nilai KWH yang akan diterima. Kalo ragu, catat sisa KWH di meteran listrik, lalu masukkan token yang baru. Kalau nilai KWH gak sesuai dengan nilai awal ditambah nilai KWH token baru, boleh diprotes tuh PLN.

Potongan Admin Bank sebesar Rp 1.800 - Rp 3.000 berisi biaya jasa penyedia voucher dan agen penjual voucher, biasanya antara Rp 1.500 - Rp 1.975 per lembar voucher (kecil banget). Karena kecilnya fee yang diterima agen penjual voucher, biasanya para agen menambahkan biaya kepada konsumen. Kalau saya meminta Rp 1.000 untuk nominal voucher hingga Rp 200.000. Diatas nominal tersebut saya meminta Rp 2.000. Kenapa? Coba saja bandingkan, pedagang kelontong dapat memperoleh laba bersih Rp 5.000 dari barang yang dijual seharga Rp 50.000, sedangkan voucher listrik cuma dapat fee Rp 1.500 - 1.975. Jadi wajar kalau penjual mengambil bayaran. Sama aja dengan voucher pulsa hape, kan gak ada yang jual voucher nominal 10.000 dengan harga Rp 10.000. Begitu juga dengan voucher listrik. Ada juga konsumen yang gak mau tau, beli 500.000 bayarnya Rp 500.000. Kalo dah gini penjual tinggal ngurut dada aja. Kok ada ya konsumen kayak gini. Tetapi memang tidak semua konsumen saya minta bayaran tambahan, tergantung kepada kemampuan juga. Kalau keluarga kurang mampu saya gak tarik bayaran. Kok bisa tau? Tau dong, ciri-cirinya daya listrik yang terpasang cuma 450 watt dan biasanya cuma beli voucher senilai hingga Rp 50.000. Kalau daya terpasang 450 watt tapi mampu beli diatas Rp 50.000 biasanya orang kaya yang pengguaan listriknya dipisah-pisah untuk penerangan dan untuk penggunaan alat rumah tangga elektronik seperti AC, mesin cuci dan lainnya. Kata mereka lebih hemat daripada pasang 2.200 sekaligus. (Benar juga sih).

Sebenarnya tudingan adanya mafia voucher listrik ini juga membuka peluang bagi agen penjual untuk kembali negosiasi mengenai pembagian fee. Kalau besarnya PPJ dihitung dengan persentase, kenapa fee agen penjual nggak? Kenapa saya bertanya seperti ini, karena yang saya dengar bahwa dari potongan 10% untuk PPJ, termasuk PPJ listrik pasca bayar, tersebut tidak 100% disetorkan kepada kas negara. Sebagian dipotong untuk upah pungut bagi petugas pemungut. Nah, jadi pertanyaan lagi. Siapa petugas pemungutnya? Yang mungut di lapangan kan penjual voucher, petugas mau itu di PLN atau di pemerintahan kan cuma terima laporan, kenapa uang upah pungutnya diberikan ke mereka? Kalau upah pungut itu diserahkan kembali ke agen penjual, yakin 100% gak ada penjual yang mengenakan biaya tambahan kepada konsumen. Pembagian kayak gini yang harus dievaluasi dan dikaji ulang. Apa pantas yang menerima uang upah pungut itu malah petugas dari pemerintahan sementara yang perah keringat dan modalnya agen penjual voucher?